» » » » » » Sejarah Transmigrasi di Lampung: Metro, Belantara yang Menjadi Kota Pendidikan


Kolonis asal Jawa tiba di Lampung (dok Tropen Museum)
Oyos Saroso H.N.

Jumat, 3 April 1936, sebuah kapal ferry merapat  di Pelabuhan Panjang, Lampung. Begitu tangga jemnatan besi yang menghubungkan kapal dengan dermaga dibuka, ratusan penumpang perlahan turun. Bersama para pembesar Belanda, mereka adalah para kolonis yang didatangkan pemerintah Hindia Belanda untuk membuka hutan di Lampung menjadi areal permukiman di wilayah Lampung bagian tengah.

Puluhan serdadu Belanda dengan senjata laras panjang mengawal mereka. Setelah didata, pendatang asal Yogyakarta dan beberapa kabupaten di Jawa Tengah itu kemudian disuruh masuk bus. Tak lama kemudian puluhan bus yang mengangkut para kolonis itu pun meninggalkan Pelabuhan Panjang menuju Lampung Tengah.

Setelah beberapa jam melintasi hutan belantara dan jalanan tanah,  iring-iringan bus itu pun sampai di sebuah hutan di daerah Trimurjo (sekitar 10 km sebelah timur Gunungsugih). Di tengah hutan itu juga tampak rumah-rumah bedeng berdinding geribik dan beratap ilalang. Di dalam rumah-rumah bedeng itulah ratusan pendatang itu ditampung sementara.

Dua hari menghuni bedeng, Pemerintah Belanda kemudian membagikan hak penggarapan lahan dan bahan dasar hunian kepada kolonis. Setiap keluarga mendapat bagian dua hektare lahan dan pekarangan  untuk berdirinya hunian. Mereka juga dibekali satu cangkul, satu kapak, satu parang, dan sebuah kuali. Untuk membuat hunian, setiap keluarga dibawakan 15 lembar welit (atap dari ilalang yang dirangkai dengan bambu) dan 20 batang paku kaso.

Mereka kemudian membuka hutan. Secara bergotong royong mereka membuat rumah sederhana berdinding papan dan atap daun ilalang. Mereka yang sudah punya rumah—lebih tepatnya gubuk sangat sederhana—akan meninggalkan bedeng.

Selain untuk menyebut rumah tempat penampungan,  istilah bedeng juga dipakai untuk menyebut beberapa rumah dalam satu areal tertentu. Ada 70 bedeng yang dibuat Belanda. Bedeng-bedeng itulah yang kemudian berubah menjadi kelurahan. Meski zaman sudah berubah, hingga kini masyarakat Metro masih akrab dengan istilah bedeng untuk menyebut sebuah kelurahan atau daerah.

Nama Metro diambil dari kata ‘meterm’ (Bahasa Belanda) yang berarti pusat. Itu karena Metro berada di tengah-tengah daerah koloni baru di Lampung Tengah.

Pemerintah Belanda lalu membangun aneka insfrastruktur seperti jalan-jalan, pasar, klinik, kantor polisi, kantor telekomunikasi, alun-alun, dan Bendungan Argo Guruh. Bendungan Argo Guruh yang terletak di Tegineneng inilah yang hingga kini menjadi sumber pengairan bagi ratusan ribu petani di kabupaten Lampung Tengah, kabupaten Lampung Timur, dan Kota Metro.

Pada tahun 1945-1956 Metro menjadi sebuah kawedanan, masuk kabupaten Lampung Tengah. Tahun 1956, sistem pemerintahan Metro berubah menjadi “negeri”. Kepala daerahnya di sebut kepala negeri. Penunjukan Metro sebagai ibu kota kabupaten Lampung pada tahun 1976 membuat Metro menggeliat sebagai kota yang ramai.

Pada 6 September 1987 Metro diresmikan Mendagri Soeparjo Rustam sebagai kota administratif. Setelah 12 tahun menjadi kota administratif, 27 April!999 akhirnya kota yang seluas 68, 74 km2 itu menjadi kota yang berdiri sendiri. Mozes Herman dan Lukman Hakim dilantik menjadi walikota dan wakil walikota pertama. Lukman Hakim adalah anak keluarga kolonis asal Jawa.

Kini, kota yang terdiri atas 22 kelurahan dan lima kecamatan itu menjadi kota terpenting di Lampung setelah Bandarlampung. Dengan penataan kota yang rapi, bersih, nyaman, dan aman, kota berpenduduk  152.440 jiwa itu kini jadi alternatif warga Lampung yang ingin menikmati hari tua.

Walikota Metro,Lukman Hakim, sedang bekerja keras untuk membangun Kota Metro menjadi Kota Pendidikan.

 “Kami sangat serius menjadikan Metro sebagai Kota Pendidikan. Setidaknya menjadi pusat pendidikan di Provinsi Lampung,” kata Lukman.


«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply