» » Bahasa dalam Sajak (1)

Iswadi Pratama

Sementara Marjorie Boulton membagi sajak atas dua unsur yang membenntuknya.
1. Bentuk fisik, mencakup penampilan sajak dalam bentuk nada dan lirik sajak termasuk di dalamnya irama, persamaan bunyi, intonasi, pengulangan dan perangkat bahasa lainnya.
2. Bentuk mental, yaitu tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan pola-pola citraan serta emosi

Namun, menurut Wellek dan Warren, analisis yang bersifat dikotomis atau terlalu tegas memilahseperti di atas dianggap belum memberikan gambaran yang memuaskan. Sedangkan menurut Roman Ingarden, sebuah sajak pada hakikatnya terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Norma-norma tersebut tidaklah berdiri sendiri-sendiri, melainkan norma yang satu menyebabkan timbulnya norma yang lain. Norma-norma itu adalah:

1. Lapis Bunyi (Sound Stratum)


Bila sebuah sajak dibacakan, maka yang terdengar pada dasarnya adalah rangkaian bunyi. Rangkaian bunyi itu menjadi komunikatif dan menarik, karena bunyi dan rangkaian bunyi itu disusun berdasarkan konvensi bahasa. Karena disusun berdasarkan rangkaian bahasa maka rangkaian bunyi tersebut menimbulkan arti atau makna. Sampai di sini muncullah tahap kedua:


2. Lapis Arti atau Makna (Unit of meaning)
Rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat kesemuanya itu merupakan satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi bait. Bait-bait membentuk kebulatan makna utuh yang memunculkan sebuah gambaran dunia, dunia imajinasi. Dan lapis kedua ini pun menimbulkan lapis ketiga:

3. Lapis Dunia


Pada lapis ini dimaksudkan bahwa ketika membaca sajak, mau tak mau, pembaca akan menghubungkan sesuatu yang berada di luar sajak, yaitu sesuatu yang tidak dinyatakan namun secara eksplisit terasa ada. Lapis ini menyebabkan timbulnya lapis berikut:

4. Lapis Metafisis


Lapis ini menyiratkan sifat-sifat metafisis yang timbul akibat adanya lapis (3) berupa sifat-sifat metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan, menakutkan, dan yang suci) yang kesemuanya itu akan menimbulkan kontemplasi pada pembaca

Bahasa dalam Sajak

Kritikus satra terkemuka A. Theeuw mengungkapkan bahwa dalam sastra, khususnya sajak, bahasa yang istimewa selalu menjadi hal paling ditonjolkan. Itulah mengapa membaca sajak berarti bergulat terus menerus dengan bahsa untuk menemukan makna yang disajikan Penyair. Karena sajak merupakan refleksi dari pengalaman dan pengetahuan manusia yang terkristalisasi di dalam batinnya, maka dibutuhkan bahasa khusus atau pilihan untuk membuatnya menjadi kongret. Itulah mengapa, bahasa pengucapan dalam sajak selalu memiliki ciri sendiri antara satu penyair dengan penyair lainnya. 


Mereka memilih ungkapan dan bahasa yang menurut mereka paling pas dan tepat untuk mengkongretkan “puisi” atau kepuitisan yang ada dalam diri mereka. Sehingga kecakapan dalam menggunakan bahasa terpilih menjadi syarat mutlak bagi penyair.

Sejak abad ke V telah dibedakan dua artes (artes adalah kepandaian, teknis, ilmiah, sistem aturan—baru kemudian dalam bahasa Prancis dan Inggeris art berkembang maknanya menjadi seni) yang masing-masing diberi nama granunatica dan rhetorica yang meliputi ilmu untuk berbicara secara tepat, dan poetaqrum enmaratio, semacam ilmu sastra. Sehingga sastrawan sering dianggap sebagai teladan dalam penggunaan bahasa yang baik dan optimal. 


Retorika kemudian berkembang ke arah penelitian dan pemeriksaan sarana-sarana bahasa yang dipakai dalam bahasa yang baik, termasuk penyimpangan, licentia poetarum keleluasaan penyair. Sehingga pengkajian dan penafsiran terhadap sajak harus ditopang dengan pemahaman terhadap bahasa di dalam sajak.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply