ada rasa asin merembes dari sela bibir pecah. ujung lidah kering merindu cairan. butir-butir keringatku sendiri bergulir dari pelipis menyeberang mata, ke bawah. aroma anyir seusai perang, kabut pedih kepulan mesiu. menyesakkan sudut mata, cuping hidung. nuansa kematian di mana-mana.
pengap. terlalu pengap. aku tak bisa bernapas! terus melangkah. dongak kepala, kupicingkan mata menantang bola api menyala di atas. kukutuki surya! telah ia tikamkan terik ke tubuh tercabik luka! telah ia didihkan bongkah tanah dibawah tumit pecah merekah! lolong angin kemarau riuh rendah. terbangkan butir pasir, berhamburan mengisi kulitku.
angin riuh. daun kering menari berputar-putar di jalanan berlubang. helai coklat kuning berkejaran spiral. pasrah rebah di tanah. bersitumbuk tubuh kami. jatuh terinjak-injak, kami terus berjalan perlahan.
di bentangan berdebu, kami, kaum yang bertahan hidup, berjubah tudung hitam kumal. jubah rombeng. menyedihkan untuk melindungi. sosok hitam tegak, bungkuk, besar, kecil, berjalan. tertatih tembus tabir udara pengap. tiupan angin meraung-raung.
sembari menapak langkah, lambat laun kusadari.di antara kami, mata berkilau. bekerjap binar. bersinar terang, atau redup. sedetik kilat, atau perlahan. di dekat, jauh, di manapun. tiap kilau membawa sepenggal adegan kehidupan. mereka saksikan atau alami selama mengada.
orang-orang bermata kilau berjalan sendirian, lalu saling berhadapan, memutuskan melangkah bersama. beberapa telah berdampingan sekian masa, beriringan menapak kaki satu demi satu ke depan. namun semuanya sama: kilau mata menyeruak keluar dari kepala, lamat-lamat menjelma nada.
sulit bagiku menentukan, rintih atau senandung nada jelma kudengar. lirih sedu dan getar telah menjadi padu. nada-nada bertaut, membentuk harmoni. tiap nada tercipta berpadanan dengan mata kilau. mewujud helaian panjang putih melambai-lambai tertiup angin, di keruh udara abu. segenap penjuru mata angin, lantunan bening paduan nada naik turun perlahan. pedih dan indah terbit bersamaan.
langkahku terhenti. satu dari beribu tumpukan puing-puing yang berserak. potongan-potongan kaca menyelip pada rangka jendela. membayang pantulan wajahku, patah-patah retakan kaca. dua mata berkilau, seperti mata mereka. menyelinap keluar diriku, menjelma untai gumaman ini.
MN, September 2013
DOA PENARI
ajari aku, langit dan bumi
sisipkan kuasamu, ruh ilahi
izinkan tiap lekuk gerak lantun nada
menjelma hikayat segenap rasa
tentang awal, akhir dan rahasia di antaranya
MN, Desember 2013
PANTAI 2
pantaiku tidak bercamar
ia debur gelombang
dikelilingi batu karang
bernaung awan melayang
pantaiku hening
hening bening.
MN, Mei 2013
KOLONI TERAKHIR
koloni terakhir di dasar cangkir
bergulir geliat cari selamat
berharap luput hirupan sepasang bibir
melekat pekat di dinding putih
pelan terhisap meluncur pedih
jatuh ke dalam dahaga ringkih
memang begitu hakikat tercipta
bersama kembali volume semula
saat seduhan penuh pekat aroma
MN November 2012
TAK ADA HUJAN DI TUKTUK
tak ada hujan di tuktuk hari ini
anak - anak berdada tembaga tengadahkan kepala
berharap melihat gumpalan kelabu selimuti mentari jingga
mereka rindu berlarian di antara rinai
tak ada hujan di tuktuk hari ini
kawanan burung terbang sejengkal di atas danau toba
entah sedang menghindari uap debu sinabung
atau nikmati sejuk kibasan ekor ikan pora - pora
tak ada hujan di tuktuk hari ini
titik - titik basahnya lesap ke dalam langit samosir
bersama angin perlahan melaju. berdesir
menuju, berembun biru di hatiku
MN, Feb 2014
YANG TERSISA ADALAH KITA
yang tersisa adalah kita
setelah kepergian mematirasa
yang terluka adalah kita
tercerabut dari dekapan mesra
yang meratap adalah kita
lebur kenangan raga bersama
yang tercinta genggam bahagia
merdeka ruh dari derita
di suatu tempat tiap ketika
tatapan teduh belai kekasih
berbisik damai sejati kini,
‘kirimi aku doa. tersenyumlah.’
MN, Oktober 2013
SELASA
tentang selasa abu kelu
oleh ritual seribu satu.
dari rongga jiwa,
sepotong rindu diam-diam
menyelinap keluar jendela
menuju gumpalan awan
masih basah bertitik hujan
sepotong rindu tak tertawan
melesat ia menuju hatimu
September 2013
TENTANG PERPISAHAN
tak pernah kumusuhi kepergian. sungguh. tak pernah pula kukutuki perpisahan. saat ragamu menjauh, masih kuingat pernah kautitipkan hatimu di dadaku. selembar jiwaku pernah tinggal di dadamu. tidak akan berharga saat – saat manis, bila pedih luka menganga tak menjadi bagian degup rasa.
ketahuilah. saat yang paling menentukan adalah ketika jarak di antara kita mulai mewujud. masih serupa janin lugu. ia bahkan tak sadar makna penting kelahirannya. seiring mendewasanya jarak, keberadaannya makin berdaya. terus ia bergumam menggeliat di tengah-tengah kita, bahkan saat kita sangka kita hanya berdua.
pelan tapi pasti, kedua lengan jarak kokoh mencengkeram kita : satu lengan pada ruhmu, lengan lain pada ruhku. keduanya saling merenggang, mengoyakkan perekat pemersatu kita. perpisahan menjelma sebagai nama lain jarak yang tumbuh dewasa.
tak pernah kumusuhi kepergian. sungguh. tak pernah pula kukutuki perpisahan. hanya saja kuharap : jangan menoleh ke belakang, saat kau melangkah meninggalkanku. teruslah berjalan. terus saja. jangan berhenti walau sejenak. agar leluasa kristal pelupuk mata kutitikkan, tanpa harus berpura-pura tegar di depanmu.
MN, Juli 2013
Marina Novianti, lahir di Medan, 21 November 1971. Semasa kecilnya gemar baca novel dan nonton The Sound Of Music. Baginya, novel dan film ia jadikan medium belajar bahasa Inggris secara otodidak. Selain itu, ia dan ketiga saudarinya belajar mengikuti kursus piano.
Tahun 2011 Marina menulis buku RingTone Biologi untuk SMP/ MTs, sebuah ringkasan teori dan evaluasi soal-soal Biologi untuk Sekolah Menengah Pertama yang diterbitkan Grasindo. Tahun berikutnya buku Selamat Pagi Pak Guru, sebuah sharing tentang kehidupan keluarga dan pertumbuhan anak ditulisnya dan diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan. Marina juga menggubah beberapa lagu, di antaranya Rayakan Musik Dalam Hidupmu.
September 2012, Marina bergabung dalam grup Facebook Writing for Healing. Di grup yang didirikan pionir penulisan kreatif di Indonesia ini, Naning Pranoto, Marina menemukan wahana untuk mengkristalkan renungan dan pikirannya dalam bentuk puisi. Ia juga mendalami sastra Indonesia dan sastra dunia. Tahun 2013, lahirlah antologi puisinya Aku Mati di Pantai. Selama tahun 2013 Marina bekerja di Griya Sastra Budaya Obor, sebuah wadah sastra rekanan Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan menyelenggarakan event – event sastra budaya di GSBO.
____________
*puisi-puisi ini dikutip dari buku puisi Pendar Plasma karya Marina Novianti , Penerbit Teras Budaya, Jakarta (2014). Buku puisi ini akan diluncurkan 18 Mei 2014 di PDS HB Jassin dalam acara Apresiasi Buku Puisi Pendar Plasma Marina Novianti, dengan pembicara Akidah Gauzilah, Saut Poltak Tambunan, Ariany Isnamurti (PDS HB Jassin), dan Remmy Novaris DM, moderator Nanang R. Supriyatin
No comments: