» » » Obituari Tachrir, S.I.P.: “Tak Perlu Takut untuk Transparan”

Pengantar Redaksi: Sangat jarang kepala sekolah yang sekolahnya mengelola dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mau berlaku transparan. Di antara yang sangat sedikit itu adalah Tachrir, S.Ip, kepala SD Negeri 1 Palapa, Tanjungkarang Pusat, Bandarlampung. Tachrir mengelola dana   BOS secara transparan. Pemasukan dan pengeluarkan dana BOS datanya ditempel di papan pengumuman sekolah sehingga orang tua siswa dan Dewan Guru bisa tahu jumlah uang yang dikelola sekolah.

Sayangnya, Tachrir sudah ada di ujung pengabdian saat program BOS bergulir. Pada 2012 Tachrir pensiun. Hingga pensiun, Tachrir tetap sosok bersahaja. Ia tidak sepintar kepala sekolah lain yang bisa membangun rumah bagus dan membeli mobil baru berkat kucuran dana BOS dan mendapat uang tunjangan sertifikasi guru.

Pada Kamis, 15 Mei 2014, para relawan Komite Anti Korupsi (KoAk) dikejutkan kabar Tachrir wafat. Untuk mengenang Tahchir, kami menurunkan dua tulisan Mas Alina Arifin yang pernah dimuat di majalah Sapu Lidi terbita KoAk. Pertama tulisan tentang Tachrir. Kedua tentang SDN 1 Palapa, Tanjungkarang Pusat, Bandarlampung.



Tachrir, S.Ip (Alm)


Mas Alina Arifin

Peribahasa “berani karena benar, takut karena salah” tidak hanya hafal di luar kepala Tachrir, S.I.P. Peribahasa itu juga dihayati betul dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari pria yang pernah  dipercaya sebagai Kepala SD Negeri 1 Palapa, Tanjungkarang Pusat, Bandarlampung.

Karena merasa dirinya ‘lurus-lurus saja’ dalam mengelola dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Tachrir tidak sungkan memasang informasi pengelolaan dana BOS di papan pengumuman sekolahnya. Memang sering ada orang yang mengaku wartawan atau anggota LSM datang menanyakan tentang pengelolaan dana BOS di sekolahnya. Namun, ia dengan enteng akan mempersilakan ‘tamunya’ itu untuk melihat langsung besaran dana BOS yang ditempel di papan pengumuman sekolah.

Ya, berbeda dengan para kepala sekolah lain yang cenderung tidak mau membuka semua informasi kepada publik, Tachrir justru menempel semua informasi dana BOS di papan pengumuman sekolahnya. Tak heran jika saat mengikuti Workshop Manajemen Pengelolaan Dana BOS yang diselenggarakan Komite Anti Korupsi (KoAK) Lampung, akhir Juli 2011 lalu, ia langsung menyambutnya dengan antusias.

“Kami mengumumkan semua tentang dana BOS, mulai dari pemasukan BOS sampai dengan pengeluaran dan sisa anggaran dengan cara ditempel di papan pengumunan yang terletak di depan kantor kepala sekolah,” kata Tachrir membuka percakapan dengan majalah Sapu Lidi.

Soal keterbukaan pengelolaan dana BOS, menurut dia, merupakan tugas mereka dalam membuat pelaporan keterbukanan. “Saya takut karena dana BOS itu uang negara. Katanya uang itu juga pinjaman dari Bank Dunia. Apa untungnya saya menutup-nutupi? Apa ruginya jika saya menginformasikannya kepada orang tua siswa?” kata dia.

Tachrir mengaku justru dengan keterbukaan ini wali murid tahu banyak tentang penggunaan dana tersebut. Para oknum wartawan atau oknum ‘aktivis LSM’ juga kapok mendatanginya. Alhasil, selama mengelola dana BOS tidak ada orang tua yang protes.

 “Kalau kami terbuka saja. Sepanjang saling menghargai, tidak masalah memberikan informasi. Hanya saja, transparan tidak sama dengan telanjang. Tetap saja ada hal-hal yang rahasia yang harus ditutupi. Jadi dana BOS  harus diinformasikan ke publik, walaupun kami harus gali lubang tutup lubang dalam pengelolaan dan tersebut,” jelas dia.

Oknum wartawan,  oknum aktivis LSM, atau para orang tua memang susah untuk menuding Tachrir menyelewengkan dana BOS. Sebab, memang tidak ada ‘revolusi kesejahteraan’ yang dialami Tachrir semenjak sekolahnya mengelola dana BOS.

Keseharian  ayah tiga  putra ini benar-benar sederhana. Dengan menumpang di rumah mertua selama bertahun-tahun, dia bisa menyekolahkan ketiga buah hatinya hingga sarjana. Ia berangkat dan pulang kerja dengan menggunakan sepeda motor kreditannya yang baru saja lunas. Dengan kesederhanaan pula Tachrir mendidik ketiga putranya hingga semuanya bisa menyelesaikan sekolah sampai perguruan tinggi.

“Menjadi guru memang harus sanggup hidup sederhana. Meskipun dengan penuh perjuangan, ketiga anak saya sudah sarjana semua. Saya kini punya dua cucu. Itulah kekayaan saya yang sesungguhnya,” katanya.

Dengan motto hidup bekerja keras dan belajar keras sepanjang hayat, Tachrir mengatakan bahwa manusia lahir dibekali oleh akal dan okol (otot) . Akal dikembangkan dengan belajar, sementara okol dikembangkan dengan bekerja keras.

Tachrir mengaku menjadi guru memang panggilan hidupnya. Profesi sebagai pendidik itu ditekuninya sepenuh hati, dengan rasa cinta, dan diniati sebagai ibadah. “Kalau mau kaya, maka jangan jadi guru. Dengan niat ibadah itulah saya merasa ringan menjalankan profesi sebagai guru,” ujarnya.

Tugas menjadi Kepala Sekolah SDN 1 Palapa ditekuninya sejak tahun 2007. Sebelumnya dia bertugas  di SDN 5 Sawah Lama sebagai Kepala Sekolah.  Sebelum menjadi Kepala Sekolah, Tachrir mengajar di SDN 2 Teladan Rawa Laut sebagai guru kelas 5.

“Sekecil apa pun kebaikan ada imbalan dan sekecil apa pun keburukan ada ganjarannya. Saya tidak akan bilang bahwa saya ini bersih padahal saya kotor. Biarlah orang lain yang menilai,” tambahnya.

Tachrir memahami bahwa jabatan dan pekerjaan adalah amanah yang mesti dijaga dengan baik. “Kalau bisa saya ingin selamat di dunia dan akherat. Maka, saya tidak malu untuk hidup apa adanya. Saya tidak malu ke sekolah tetap pakai motor,” kata dia.

Tachrir menuturkan dalam mengelola dana BOS dia dibantu bendahara dan  tim pengelola dana BOS yang terdiri dari seorang wali murid, dewan guru, dan komite sekolah.

Pada tahap awal, kata Tachrir, pihaknya membuat RAPBS. Selanjutnya pos-pos anggaran dibuat prioritasnya, yang kurang prioritas dibelakangkan. Semua itu tetap mengacu pada petunjuk teknis pengelolaan BOS.

Pengeluaran terbesar adalah untuk honor guru. Ada 27 guru dan staf honorer di SDN 1 Palapa, terdiri atas guru mata pelajaran, guru kelas, staf  Tata Usaha, dan penjaga sekolah. Sedangkan guru negeri hanya ada  24 orang  saja. Untuk guru honorer rata-rata mereka dibayar  Rp 400 ribu/bulan.

Pengeluaran lainnya adalah belanja barang kebutuhan sekolah, bayar listrik, air dan telepon, pengadaan buku, ATK guru, alat alat tulis, ulangan, dan ujian. Selain itu yang mendesak adalah pengadaan buku pelajaran untuk murid yang baru masuk.

“Karena setiap tahun ada penambahan jumlah murid, maka buku yang lama berbeda jumlahnya dengan tahun sebelumnya,” ujarnya.

Tachrir mengaku dana BOS sebesar Rp 400 ribu/siswa/tahun tidak bisa mencukupi kebutuhan sekolahnya. Dana sebesar itu, kata dia, habis untuk gaji guru honor dan pembelian kelengkapan sarana pendidikan, seperti mebeler, meja-kursi belajar siswa, dan perbaikan ruang kelas.

“Apalagi sekolah kami tidak memungut sumbangan. Mulai dari uang rapor, uang ijazah, sampai pas photo tidak dipungut biaya. Untuk ukuran sekolah kami,  biaya pendidikan per satuan pendidikan yang idealnya adalah  Rp1.200.000/murid/tahun. Ini berdasarkan kalkulasi kebutuhan sekolah, termasuk dengan pertimbangan untuk peningkatan mutu pendidikan,” paparnya.

Pembelian mebeler dan kursi-meja belajar siswa dilakukan karena memang ada penambahan jumlah kelas di SDN 1 Palapa. Agar dana BOS cukup, Tachrir bahkan pernah  meminta dari SD lain meja dan kursi bekas, atau membeli mebelair yang harganya murah. 

“Untuk mengatasinya kami juga mulai tahun  2010 menganggarkan satu unit meja-kursi belajar  per triwulan untuk setiap kelas,” tambahnya.

Tachrir mengaku keterlambatan pencairan dana BOS selama ini masih dialami hampir seluruh sekolah. “Pencairan dana BOS idealnya pada awal triwulan, tetapi karena bulan Juli belum cair, maka pada bulan itu kami terpaksa harus mencari pinjaman untuk  biaya dua bulan yakni Juli dan Agustus. Sementara itu dana BOS baru cair pada bulan September,” ujarnya.

Karena sekolahnya tidak bisa memungut dana dari para orang tua siswa, Tachrir berharap Pemerintah Kota dan Provinsi bisa memberikan dana pendamping BOS seperti yang terjadi di Kota Metro atau kabupaten lain di Pulau Jawa.

“Pemda hanya  memberi bantuan beasiswa. Bantuan dari Pak Walikota bulan lalu adalah seragam sekolah untuk anak miskin sebanyak 55 murid. Padahal, siswa kami yang perlu dibantu ada 170 anak,” paparnya.

Menurut Tachrir bantuan untuk sekolah ini sangat diharapkan karena rata-rata murid yang sekolah di SDN 1 Palapa perekonomian orang tuanya termasuk kelas menengah ke bawah.

“Di sekolah kami banyak siswa yang orang tuanya kurang mampu, seperti tukang ojek, tukang cuci, dan pedagang  warungan,” kata dia. 

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply