» » Pembangunan Jalur Kereta Api: Antara Dulu dan Kini

Mas Alina Arifin/Teraslampung.com


Stasiun yang sapi di jalur Tanjungkarang (Lampung)--Kertapati (Sumsel). Foto dok Panoramia
Bandarlampung—Ahli hukum adat Lampun, Rizani Puspawijaya, mengungkapkan pembangunan rel kereta api di Lampung dimulai sejak  tahun 1905 zaman pemerintahan Belanda. Saat itu , Indonesia masih dibawah  pemerintahan Belanda. Proses pembuatan rel  kereta api, menurut Rizani, berdasarkan persetujuan dari tokoh-tokoh masyarakat adat saja. Terutama adalah tokoh-tokoh adat  yang berada disekitar lokasi  pembuatan rel tersebut.

Warga  yang tanahnya akan dilalui jalur rel, ketika itu mendukung upaya pembuatan rel kereta api. Soal pembebasan lahan atau tanah praktis sudah tidak ada. Mereka melihat  kepentingan yang jelas untuk masyarakat luas.

Proes pembebasan lahan  zaman dulu dimulai dengan musyawarah dengan para kepala adat di Lampung. Akhirnya diputuskan adanya uang tali asih/ganti rugi. “Ketika itu juga tidak ada pemindahan secara paksa, khususnya  di Lampung. Mungkin kalau di Pulau  Jawa mungkin ada yang seperti itu (pemindahan penduduk,” kata Rizani.

Selain itu, saat itu penduduk di daerah akan dilalui jalur kereta api juga belum banyak.
Status tanah juga masih tanah negara.  Tanah ketika itu juga belum punya nilai ekonomi.

“Jadi tidak ada masalah dalam pembebesan tanah,” kata Rizani Puspawijaya.

Menurut Rizani saat pembangunan rel kereta api,  masyarakat yang ada di kampung-kampung di  Lampung yang kampungnya  dilalui kereta api dikaryakan. Mereka rata-rata  dijadikan pekerja. Artinya, ada yang  ikut bekerja kasar membangun rel dan ada  juga yang jadi annemer (pemborong) yang memang melibatkan masyarakat sekitar.

Setelah itu pembangunan rel selesai, ada  peraturan pemerintah Belanda, yaitu  Werverkeerverordening Ordonansy. Di dalamnya ada klausul  bahwa pihak kereta api memiliki lahan dengan total 75 meter dengan hak pengelolaan tanah.  Perinciannya 25 meter untuk pembuatan rel dan masing-masing 25 meter untuk samping kanan dan kiri rel.

Dalam perkembangannya  sekarang, pemerintah berencana akan membangun megaproyek jaringan rel kereta api Tanjungenim, Sumatera Selatan ke Terminal Batu Bara Srerengsem, Bandarlampung, oleh  PT Bukit Asam Transpacific Railways (BATRA) dengan anggaran sebesar Rp 12 triliun.

Rencanaya  rel kereta api  (doubeltrack) Bukit asam yang membentang dari Tanjungkarang hingga Tanjungenim, Palembang dengan luas  tanah untuk membangun rel lebarnya sekitar 100 meter. Perincian:  untuk pembangunan rel sekitar 25 atau 30 meter, 70 meter sisanya statusnya akan  menjadi tanah PT Bukit Asam dengan hak pengelolaan tanah.

“Inilah yang menjadi persoalan warga di Lampung. Karena mungkin saja rel melewati tanah yang sudah dikelola dan ini harus dilaksanakan  ganti rugi.  Saya menyarankan ganti rugi harus dilaksanakan  dan  harus dibuat sertifikat tanah berdasarkan patok/batas tanahnya. Siapa yang menjadi pemiliknya harus diperjelas,” kata Rizani.

“Karena untuk kepentingan masa depan. Kalau sudah dibuat sertifikatnya dan ada patoknya, maka ke depan tidak akan ada pihak-pihak lain yang mengaku kalau tanah itu miliknya yang belum diganti rugi,” imbuhnya.

Rizani menyarankan agar PT Bukit Asam pada saat proses pembangunan jalur rel ganda nanti jangan sampai ada pihak-pihak yang berdagang atau mendirikan bangunan di sekitar areal pembuatan rel 100 meter tersebut. Hal itu nantinya akan menjadi masalah besar.
Karena biasanya setelah pembuatan rel selesai, biasanya warga yang berjualan tidak mau pindah dari sekitar areal rel kereta api.

Meski demikian, kata Rizani, pada dasarnya masyarakat mendukung proyek perluasan rel kereta Bukit Asam asalkan ada kejelasan soal ganti rugi tanah .  Untuk membantu memperlancar proses tersebut ada tim Panitia 9  yang akan mengurus hal tersebut. Panitia  9  terdiri dari dari beberapa pihak. Antara lain pihak  Pemda,  camat, kepala desa, kepala kampung, pihak ketiga yang mau membeli,  aparat kepolisian, dan DPRD .

Menurut Rizani tim ini  berusaha menyejahterakan masyarakat yang dilewati rel kereta api. Contohnya saja jika ada lahan 100 meter seharusnya dikeloa oleh suatu lembaga tertentu yang akurat sehingga bisa menghasilkan sesuatu untuk masyarakat sekitar. Bentuknya banyak, contohnya  jika rel melewati tanah rawa, mestinya tidak dibiarkan begitu saja. Bisa saja dibuat  kolam ikan oleh masyarakat pihak ketiga yang bertanggungjawab tapi bukan perorangan sehingga menjadi visibel

Kemungkinan lainnya adalah jika rel melewati  kali yang ada jembatannya.  Paling tidak sekitar 100 meter atau 200 meter ke hilir. Sebaiknya, agar bermanfaat, ditanami pohon-pohon yang bisa menghasilkan dan berguna bagi masyarakat sekitar. Hal ini dilakukan  agar tidak terjadi erosi tanah.

Kereta batu bara rangkaian panjang atau Babaranjang. (Foto Syamsu Rizal Mukhtar)
Menurut Rizani, sekarang ini tanah desa harus dikelola karena sudah mulai mempunyai nilai eknomis. Misalnya bagi hasil dan bisa diatur oleh Pemda bersama-sama dengan  PT Bukit Asam. Bagimana cara pengelolaan tanahnya sehingga hak pengeloaan itu tidak terbengkalai tetapi produktif dengan persentase  tertentu. Misalnya saja dengan menggunakan sistem syariah dengan persentase 30---70, 30% Bukit Asam , 20% pemda, 50% yang mempunyai tanah.

"Saya prediksi pembebasaan lahan akan lancar bila menggunakan aturan negara yang ada. Seharusnya tidak ada masalah khususnya  tanah masyarakat. Status tanah yang akan dilalui rel adalah tanah yang tanah yang diindentifikasi sebagai tanah kehutanan, perkebunan, dan tanah masyarakat," kata Rizani.

Rizani menilai yang agak krusial jusru tanah masyarakat. Misalnya saja jika tidak memiliki surat-surat tanah, maka dasarnya adalah  bukti fisik misalya seseorang itu  mempunyai kebun, ada rumahnya.

"Yang paling susah adalah pihak yang tidak memiliki tanah tetapi mengaku memiliki hak ulayat atas tanah tersebut," ujarnya.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

1 comments:

  1. Thanks for info, jangan lupa kunjungi website kami https://bit.ly/2R2T5VN

    ReplyDelete