CERITA DARI LAPANGAN
Ratna Juwita**
Ratna Juwita**
Dari segala penjuru,
Kami datang ‘tuk bersatu
siang malam tak terasa,
suka duka di Piabung…
oaeo..oaeo…oaeo..oaeoo..
Selamat tinggal kekasihku,
Aku pergi takkan lama,
Hanya satu minggu saja,
Suka duka di Piabung…
oaeoo..oaeoo..oaeoo…oaeoo…
Lirik lagu itu kadang samar, timbul tenggelam, namun nadanya tak pernah lupa. Seminggu di Piabung, adalah lebih dari sebuah kenangan. Sebab kenangan hanyalah layaknya gambar, yang muncul lagi saat membentang layar. Sementara Piabung adalah tentang soul, jiwa, yang menetas pada hati-hati rapuh lalu meniupkan segumpal semangat, kekuatan, dan kesadaran. Menetap, meruap, mengisi seluruh ruang dan sudut. Hhmm…mungkinkah aku terlalu berlebihan? ‘Lebay’, kalau kata anak sekarang….
Tapi baiklah, aku coba runut satu-persatu agar pemahaman ini tidak dianggap lebay. Pertama kali tersiar kabar bahwa pelatihan penyegaran FK/FT PNPM MPd tahun ini akan dilakukan di Markas Komando Brigadir Infanteri 3 Beruang Hitam Piabung, tidak sedikit rekan-rekan yang berjuluk Fasilitator mengeluh, protes. Bahkan, bahkan menolak mentah-mentah. Ini benar-benar di luar kebiasaan. Lazimnya pelatihan dilakukan di hotel dengan fasilitas lengkap dan memadai. Padahal, di tempat terbuka para peserta akan menjalani latihan selama enam hari (26 November--1 Desember 2012).
Banyak sebab yang dilontarkan, terutama adalah tentang fasilitas di lokasi nanti. Membayangkan tidur di tenda selama enam hari, di tepi laut pula, yang ada di benak adalah masuk angin dan nyamuk malaria. Belum lagi lokasi yang jauh dari perkampungan, kemungkinan kami akan kesulitan mendapatkan barang-barang kebutuhan primer dan berpuluh kekhawatiran lainnya.
Ketika Korprov Lampung memposting foto-foto lokasi penyegaran di jejaring media sosial Facebook, makin gaduhlah rekan-rekan fasilitator. Kami harus membawa bantal sendiri? Bagaimana dengan MCK? Bagaimana kalau hujan turun? Banyak sekali perlengkapan yang harus dibawa, seperti “pindah rumah”, begitu kami menyebutnya.
Keriuhan meruah bukan hanya ketika berkumpul bersama saat rakor, tapi juga di dunia maya. Obrolan di beranda facebook makin ramai menjelang hari dimulainya pelatihan. Ada yang serius sampai adu otot, tapi ada juga yang enjoy dan menerimanya dengan canda. Satu hal yang kuingat waktu itu adalah komentar Pak Amir menanggapi pro-kontra teman-teman “ yang penting jangan bersugesti buruk dulu, kalau sudah bersugesti bakal sakit, ya sepertinya bakal sakit beneran. Positive thinking saja”.
Minggu malam itu, adalah malam pertama kami tidur di tenda. Ternyata tidak seburuk yang dibayangkan. Walau tidak senyaman kasur, tapi tempat tidur mungil dan bantal kecil bawaan dari rumah cukup menghangatkan malam hingga pagi datang. Namun itu baru permulaan, karena dini harinya ketika kami dengan terburu-buru ke lokasi MCK, di depan pintu kamar mandi sudah terdapat antrian panjang. Kemudian setelah terkantuk-kantuk mengantri, pada saat giliran tiba, air kamar mandi habis. Padahal semua tahu, bagaimana jadwal biologis seseorang ketika bangun tidur. Duh, keluhan pertama dimulai. Keluhan berikutnya adalah pada saat makan pagi. Kami yang datang belakangan mengambil menu sarapan, hanya mendapatkan kerupuk dan nasi saja. Syukurlah menu seadanya itu bisa kami santap dengan sukses. Entah karena memang teramat lapar atau karena pengaruh lanskap fajar dan laut pagi itu yang teramat indah.
Dua hari pertama, nampaknya atmosfer masih terasa berat. Masih ada teman yang menggagas ide untuk menyegerakan pelatihan, lalu dilanjutkan di masing-masing kabupaten saja. Untungnya pelatihan berada di luar ruangan dengan materi muatan lokal, sehingga kejenuhan dapat disingkirkan. Terutama ketika peserta diajak outbond dan diperkenalkan pada aktifitas marinir, khususnya pada sesi belajar menembak yang sepertinya paling banyak dikenang.
![]() |
Sunrise di Piabung (Foto Ratna Juwita) |
Pada hari ketiga saat mulai belajar di kelas, lain lagi masalahnya. Lokasi belajar yang lumayan jauh, cukup melelahkan ketika ditempuh pada terik matahari yang memanggang garang. Alhasil, ketika di dalam kelas banyak dari peserta yang tidak mampu berkonsentrasi.
Sebagian ada yang sibuk berkipas-kipas ria, sebagian yang lain berjibaku menahan kantuk yang tidak tertahan. Malahan ada beberapa yang tak sanggup lagi membuka mata dan pulas di kursi masing-masing. Bayangkan saja, setelah berjalan jauh, berpeluh, lalu kami duduk di ruangan panas dan pengap berjam-jam. Jadi harap dimaklumi kalau hari pertama di kelas itu kami lalui dengan setengah sadar..
Sebagian ada yang sibuk berkipas-kipas ria, sebagian yang lain berjibaku menahan kantuk yang tidak tertahan. Malahan ada beberapa yang tak sanggup lagi membuka mata dan pulas di kursi masing-masing. Bayangkan saja, setelah berjalan jauh, berpeluh, lalu kami duduk di ruangan panas dan pengap berjam-jam. Jadi harap dimaklumi kalau hari pertama di kelas itu kami lalui dengan setengah sadar..
Yang tidak kalah serunya adalah suasana di dalam tenda. Adalah kisah tersendiri bagi sekitar tiga puluh orang yang enam hari bersama-sama mulai dari bangun tidur, sampai menjelang terlelap. Dengan segala keterbatasan fasilitas, kami harus bisa saling mengerti, berempati, berbagi, dan memahami. Ucapan dan tindakan yang sedikit tidak berkenan akan mudah menyulut emosi, apalagi bagi kami, para wanita yang memang sudah dari sananya sering menggunakan perasaan. Seni menahan diri, tidak merasa benar sendiri, harus lebih sering diterapkan untuk menghindari konflik dan membuat suasana tenda tetap nyaman.
Beruntung sekali dengan keterbatasan fasilitas itu kami diberikan banyak kelebihan dalam hal lain. Tentang ini bahkan aku tidak mampu merincinya dengan lengkap. Mulai dari yang paling dekat adalah cuaca. Beberapa hari sebelum kami datang, menurut cerita dari bapak-bapak marinir, Piabung kerap diguyur hujan karena memang ini musim penghujan. Bahkan sehari sebelum kami datang, hujan masih membasahi landasan. Saat kami tiba di minggu sore, sisa hujan masih menggenang di segala sudut.
Namun, Senin hingga kepulangan di Minggu siang, hujan tidak bertandang ke Piabung. Hanya sebentar ia mampir saat upacara pembukaan. Tentu saja ini adalah sebuah kemudahan dan kebijakan yang alam berikan. Seandainya hujan turun saat itu, pastilah suasana tenda akan hiruk-pikuk, proses belajar di kelas akan terganggu, aktifitas harian seperti mandi, olahraga, makan, semuanya akan berlangsung dengan beberapa kendala.
Kelebihan kedua adalah keramahan dan kesabaran marinir yang bisa aku katakan luar biasa. Hampir seluruh marinir baik pendamping pleton, petugas tenda konsumsi, sampai pelatih, memiliki kesabaran ekstra menghadapi kami yang jauh dari disiplin ini. Walaupun mayoritas usia kami lebih tua, tapi bisa dikatakan, mereka yang ‘ngemong’ kami. Nyaris tidak ditemui bentakan atau kemarahan mereka (kalaupun marah, aku yakin mereka mati-matian menahannya, hehehe). Marinir yang berkesan dekat dengan kekerasan dan peperangan itu, menunjukkan bagaimana menjalani masalah tanpa keluhan. Disiplin, cekatan, fokus, dan memegang komitmen, adalah nilai-nilai yang nyata tertanam sehingga yang muncul adalah kesabaran dalam menghadapi kesulitan (terutama kesulitan menghadapi kami).
Dan yang tidak bisa diabaikan adalah keindahan alam Piabung. Siapa yang mampu menolak pesona fajarnya? Ketika matahari terbangun di ujung horizon dengan semburat jingga, biru, merah, dan ungu. Siapa pula yang tak ingin berlama-lama menatap purnama di atas laut nya? Piabung, bersama laut, pantai, matahari, rembulan, bukit, dan sudut-sudut dermaga nya. Semua keindahan itu bersekutu menakhlukkan keluhan yang ada. Waktu mengantri mandi saat fajar dan senja, adalah saat mata tak jemu mencuri-curi keindahan laut Piabung.
Demi menikmati cahaya sunrise, aku lebih memilih memangkan sujud subuh di mushola tepi pantai. Bahkan ada yang menggelar sajadah dalam pondok bambu di bibir laut. Dengan segala keindahan itu, maka tidak heran jika setiap sudut Piabung menjadi sasaran bidikan lensa kamera. Mungkin hanya lokasi kamar mandi yang tidak digunakan sebagai ajang berfoto ria (atau mungkinkah ada yang menyalurkan bakat narsisnya di sana?).
Di antara semua itulah, perlahan kami menemukan ‘jiwa’ di sana, di Piabung. Diakui atau tidak, ‘jiwa’ itu hadir di setiap ruang hati kami, dengan kadar yang berbeda-beda tentunya. Bisa dirasakan saat pelatihan penyegaran tahap II dilanjutkan di kabupaten masing-masing. Seminggu berlelah-letih di Piabung tak mengurangi semangat kami menuntaskan agenda ini. Dua hari penuh kami lewati pelatihan lanjutan sampai lewat maghrib dengan tetap full power (ini kondisi di Lampung Timur, semoga di kabupaten lain juga begitu).
Tak pelak lagi, perbincangan tentang Piabung memberi nuansa tersendiri. Yel-yel atau salam seperti “semangat pagi”, “kekuatan 5.5”, “Are You ready” dan beberapa yel-yel khas lainnya menjadi penyemangat dan masih mewarnai hari-hari kami, hingga saat ini. Bagi sebagian lagi, membuka-buka rekaman lensa kamera di Piabung, adalah keasyikan yang belum juga menemukan titik jemu. Sampai hari ke-21 setelahnya, foto-foto episode Piabung masih wira-wiri bertebaran di beranda Facebook, dengan beragam gaya dan momen favorit (tak terkecuali aku).
Piabung telah memberi kesadaran bahwa banyak hal yang patut kita syukuri dalam hidup ini. Tugas yang kita sandang sebagai seorang fasilitator pemberdayaan memang tidak mudah. Padatnya RKTL, progress yang terhambat, aneka ragam karakter masyarakat, dan sederet masalah lain kerap membawa kita pada perasaan lelah tiada tara. Namun Piabung telah menunjukkan banyak cara bagaimana kita menikmati semua itu. Seperti sebuah kalimat bijak yang pernah aku baca bahwa “hidup bukan tentang menunggu badai berlalu, tapi tentang bagaimana belajar menari dalam hujan”.
*Catatan tercecer dari kisah lama, Novemver--Desember 2012 lalu.
** Ratna Juwita, Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan di Lampung
** Ratna Juwita, Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan di Lampung
No comments: