» » » » Transparansi BOS dan Partisipasi Walimurid

Oleh: Oyos Saroso HN*)
Beberapa waktu lalu Bank Dunia (World Bank) mengumumkan hasil penelitiannya tentang dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Hasil penelitian itu menyebutkan akuntabilitasi dan transparansi dana BOS yang disalurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) buruk.

Mae Chu Chang, Kepala Bagian Pendidikan Bank Dunia, mengatakan berdasarkan hasil studi baseline BOS yang dilakukan Bank Dunia, terungkap bahwa informasi dana BOS dan penggunaannya hanya diketahui sebagian kecil walimurid.

Walimurid hanya mengetahui perihal BOS secara datar dari media, lingkungan sekitar, dan sekolah. Hasil analisis Bank Dunia menyebutkan, dari sebagian besar responden yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), pengetahuan orang tua tentang BOS masih rendah.

Temuan Bank Dunia adalah sebagian besar orang tua pernah mendengar tentang BOS (86,13%), mengetahui kepanjangan BOS (46,67%), mengetahui tujuan BOS (44,78%), mengetahui jumlah dana BOS (2,49%), dan mengetahui penggunaan BOS (25,51%). Chang juga menyatakan, ketiadaan pemahaman orang tua terkait BOS karena keterbatasan informasi inilah yang menyebabkan buruknya transparansi dan akuntabilitas BOS. Namun, menurutnya bisa juga sebaliknya, rendahnya pengetahuan dan partisipasi orang tua disebabkan rendahnya transparansi dan akuntabilitas sekolah dalam mengelola BOS.

Hal lain yang terungkap dari hasil analisis itu adalah rendahnya frekuensi orang tua diundang ke sekolah untuk dialog mengenai dana BOS. Chang juga menyatakan, terbatasnya papan pengumuman sekolah mengenai pemakaian dana BOS turut menyebabkan penyaluran dana BOS patut diawasi secara maksimal. Padahal, ujarnya, berdasarkan kesimpulan analisis, sebenarnya orang tua memiliki kepedulian tinggi pada sekolah, terutama pada kualitas sekolah, dan memiliki kemauan besar jika dana BOS tidak mencukupi. Menurutnya, para orang tua pada dasarnya mau berkontribusi, dan ini adalah potensi yang harus diapresiasi oleh sekolah.

Menurut Chang, untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas BOS, pemerintah harus segera meningkatkan partisipasi aktif orang tua dalam perencanaan dan pengawasan BOS.Termasuk melakukan kampanye informasi dana BOS langsung ke orang tua melalui jalur sekolah, media maupun komunitas masyarakat. Chang menjelaskan, studi Bank Dunia dilakukan kepada 3.600 orang tua di 720 sekolah di Indonesia. Menanggapi hal ini, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengakui bahwa partisipasi orang tua dalam BOS masih sangat rendah.

Karena itu, Mendikbud M. Nuh mengajak orang tua wali murid untuk ikut serta dalam perencanaan penggunaan dana BOS sehingga tepat sasaran. Hal ini penting karena BOS membantu masyarakat tidak mampu untuk bersekolah dan untuk turut menyukseskan program wajib belajar 9 tahun. Partisipasi masyarakat, ujarnya, selain bisa dilakukan dengan datang langsung ke sekolah juga bisa mengakses nomor bebas pulsa Kemendiknas di 177.

Mendikbud M. Nuh mengatakan, pada Tahun 2008 ada 40,2 juta siswa yang telah merasakan manfaat BOS. Jumlahnya sangat besar, maka pihaknya sangat mengharapkan peran aktif orang tua untuk mengawasinya. Peran serta masyarakat, ujarnya, dapat bekerja sama dengan komite sekolah. Partisipasi yang diharapkan dari orang tua dalam penyaluran dana BOS ini, menurut Mendikbud, dimulai dari proses pendataan siswa, verifikasi jumlah siswa sampai pengawasan penggunaan dana BOS di sekolah.

Beberapa waktu lalu Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga ada pemborosan penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) tahun 2009-2012 yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Temuan ICW itu selaras dengan pengalaman KoAK dalam mengawal transparansi pengelolaan dana BOS di Bandarlampung dalam dua tahun  terakhir.

Fakta di lapangan membuktikan bahwa tujuan mulai pemerintah pusat dan imbauan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tidak bersambut di tingkat bawah. Para kepala sekolah di Bandarlampung banyak yang memakai sistem pintu tertutup alias tidak transparan dalam mengelola dana BOS. Seolah-olah hanya kepala sekolah yang berhak megetahui data BOS. Informasi tentang dana BOS dianggap sebagai rahasia negara. Parahnya, sikap seperti itu tidak mendapatkan respons yang semestinya dari atasan, semisal Kepala Dinas Pendidikan dan Walikota. Sikap membiarkan kepala sekolah untuk berlaku selalu menutup pintu informasi tentang BOS, pada dasarnya juga sebuah sikap untuk membiarkan terjadi korupsi. Sebab, sebagaimana terjadi di banyak tempat, tidak adanya transparansi pengelolaan dana akan membuka ruang lebar adanya korupsi.

Banyak hal yang ditemukan sebagai kekurangan dan kelemahan dari Program BOS ini. Sejak dari sisi substansi kebijakan, pengadaan anggarannya, hingga ke tingkat pelaksanaan di level terbawah (sekolah). Berbagai temuan tersebut membutuhkan kerja keras Pemerintah untuk makin menyempurnakan skema/sistem kerja dari Program besar ini. Untuk memberikan ruang publik bagi refleksi dan evaluasi kritis dari berbagai sudut pandang, terutama sudut pandang masyarakat sipil.

Kita sering menjumpai ada kepala daerah yang mengatakan mereka sudah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%, tetapi termasuk di dalamnya dana BOS. Padahal, BOS adalah dana yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Di sinilah letak pembohongan publik yang dilakukan oleh kepala daerah.

Beberapa modus yang dilakukan oleh kepala daerah yaitu dengan cara memperlambat pengucuran dana ke sekolah. Dana BOS yang sudah ditransfer oleh Kementerian Keuangan kepada kas umum daerah sengaja disimpan dalam beberapa waktu dengan tujuan memperoleh bunga atau digunakan terlebih dulu untuk membayar rekanan atau pihak ketiga dan Beberapa Daerah kurang memahami Surat Edaran Bersama Mendagri dan Mendiknas No. 900/5106/SJ danNo. 02/XII/SEB/2010.

Kewenangan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kini telah berada di tangan pemerintah daerah. Program BOS bertujuan agar seluruh siswa SD dan SMP negeri bebas dari pungutan biaya operasional sekolah, terutama mereka yang berasal dari keluarga miskin. Adapun bagi siswa sekolah swasta, BOS diharapkan dapat membantu meringankan beban biaya operasional sekolah.

Pembebasan ataupun peringanan biaya operasional sekolah tentunya mutlak perlu dinikmati oleh para pelajar tanpa hambatan prosedural dan kejahatan korupsi. Bila kemacetan penyaluran dana BOS saja bisa sangat mengganggu hak pendidikan para pelajar, apalagi dengan kejahatan penyelewengan dan korupsi. Hal itu sama saja berarti melanggar hak konstitusional para pelajar.

Dana BOS juga seharusnya secara eksklusif mampu mencapai sasarannya, yaitu para pelajar. Tidak adil bila sekolah memaksakan diri “menyempurnakan” bangunan fisik gedung sekolah, tetapi di sisi lain pelajar tetap harus mengeluarkan dana untuk membeli buku pelajaran, perlengkapan sekolah, SPP, hingga karya wisata. Dana BOS juga tidak hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kesejahteraan tenaga pendidik. Baik pemerintah daerah maupun lembaga pendidikan sebaiknya fokus pada sasaran dana BOS, yakni kepentingan operasional setiap pelajar.

Program BOS diyakini pemerintah bisa mengatasi masalah pendidikan dasar  9 tahun. Namun, program ini juga akan menjadi sia-sia jika pelanggaran terhadap Juknis BOS dibiarkan saja. Untuk meminimalkan pelanggaran, memang ada Komite Sekolah.Namun, sebagaimana kita tahu, Komite Sekolah selama ini lebih banyak menjadi cap atau stempel pihak sekolah sehingga tidak betul- betul menyuarakan kepentingan para orang tua siswa (wali murid). Dengan kondisi itu, maka Komite Sekolah pun tidak bisa 100 persen bisa disebut sebagai perwakilan wali murid.

Oleh sebab itu, hadirnya Forum Wali Murid di sekolah-sekolah untuk mengontrol pemakaian dana BOS sangat dibutuhkan. Eksistensi mereka akan menjadi sah dan lebih bergigi jika ada dasar hukumnya. Dasar hukum tentu saja bisa dibuat oleh Kemendikbud atau Pemerintah Daerah setempat. Hanya dengan dasar hukum yang kuat, maka para wali murid lebih memiliki keberanian untuk melakukan kontrol pemakaian dana-dana pendidikan di sekolah.

Oyos Saroso HN
Menulis esai sastra-budaya dan puisi sejak 1991. Bergiat di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lampung Media Center (LMC).

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply