» » Kain Tapis, Warisan Nenek Moyang yang Makin Langka

BANDARLAMPUNG--Kain tapis adalah pakaian wanita suku Lampung berbentuk kain sarung yang terbuat dari tenunan benang kapas dengan motif atau hiasan yang disulam dengan benang emas atau benang perak. Kain tapis dipakai untuk menutup bagian pinggang ke bawah.

Menurut Van der Hoop, seorang penulis dan ahli sejarah dari Belanda, orang Lampung telah menenun kain nampan (kain brokat) dan kain pelepai (hiasan dinding) sejak abad 2 Sebelum Masehi. Motif kain nampan dan pelepai antara lain kain dan kunci (key and rhomboid shape), pohon hayat, dan bangunan yang berisi roh manusia yang sudah meninggal. Selain itu ada juga motif binatang, matahari, bulan, dan bunga melati.

Panjangnya sejarah kain tapis Lampung juga ditunjukkan dengan adanya koleksi tapis kuno Lampung yang sudah berumur 400-an tahun yang saat ini tersimpan di musium Inggris dan Amerika Serikat. Bahkan, ada beberapa pengamat budaya Lampung yang mengungkapkan bahwa tapis Lampung sudah ada sejak zaman prasejarah.

Menurut Anshori Djausal, seorang budayawan Lampung yang juga ketua masyarakat adat Abung (Lampung Utara), pada zaman dahulu kain tapis yang terbuat dari kain tenun dan disulam dengan benang emas, perak atau sutera merupakan simbol status seseorang.

Fungsi kain tapis sendiri berkaitan erat dengan makna simbolis yang terdapat pada ragam hias dan merupakan perangkat untuk kepentingan upacara adat. Kain tapis mempunyai fungsi dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat pendukungnya, seperti aspek sosial, aspek religius, aspek estetika, dan aspek ekonomi.

Dari aspek religius, kain tapis lazim dipakai pada upacara daur hidup termasuk upacara keagamaan. Ragam hias yang ada di atas selembar tapis melambangkan wujud kepercayaan masyarakat Lampung terhadap kebesaran alam dan keagungan Tuhan. Sedangkan dari aspek estetika, motif ragam hias yang ditampilkan melahirkan karya seni yang memiliki nilai estetika dan nilai historis yang tinggi.

Kerajinan tapis pada zaman dulu lebih sebagai kebutuhan sosial sekelompok masyarakat pendukungnya untuk memenuhi kepentingan adat istiadat. Misalnya untuk keperluan pemberian gelar adat, penyambutan tamu penting, upacara perkawinan, upacara adat mengangkat saudara (muari), dan lain-lain. Dengan adanya perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, hasil kerajinan tapis diperjualbelikan kepada masyarakat luas, akhirnya sedikit demi sedikit fungsi simbolis dan religi diabaikan.

Kain tapis tidak hanya menampilkan sisi estetis, tetapi juga mengandung sugesti moral, magis, dan religius yang tampak di setiap simbol pada lambang yang menjadi ragam motifnya. Nilai yang terkandung dalam kain tapis tersebut merupakan refleksi terhadap kehidupan manusia.

Keagungan nilai-nilai simbolis kain tapis biasanya diambil dari unsur-unsur flora, fauna, alam raya, benda dan motif bercorak manusia. Simbol–simbol tersebut dimaknai sebagai kehidupan timbal balik antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan Tuhan Pencipta alam raya. Demikian pula dengan motif kapal tradisional atau jung dalam kain tapis Lampung, yang melambangkan aspek kemaritiman Indonesia yang kaya akan sumberdaya alamnya.

Motif tersebut telah muncul sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia. Kemudian dimodifikasi dengan pengaruh motif Islam yang merambah masuk saat kerajaan Islam berkuasa dan masuknya saudagar dari Arab, Persia, dan Gujarat (India) ke Lampung, antara tahun 1500 – 1700. Lebih – lebih setelah masuknya budaya dari Jawa melalui proses perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda. Perkembangan seni tenun tradisional Lampung semakin kaya.

Kain tapis kuno umumnya berkualitas tinggi karena proses penggarapannya bukan karena tuntutan industri. Pada zaman dulu, para muli (gadis) dan ibu-ibu masyarakat Lampung pandai membuat kain tapis karena mereka dituntut oleh kebutuhan adat. Pada zaman dulu, perempuan yang tidak bisa membuat tapis dianggap tidak memiliki kepekaan perasaan. Sebab itulah, di sela-sela waktu senggangnya, pada zaman dulu para gadis di Lampung membuat tapis dengan sentuhan kepekaan perasaan. Mereka bekerja dengan sepenuh hati, tidak peduli sulaman tapis itu akan selesai dalam waktu berminggu-minggu.

Pada zaman dulu, jika seorang wanita tidak mempunyai kain tapis, ia akan dikucilkan. Makanya, pada zaman dulu para wanita Lampung umumnya pandai menyulam kain tapis untuk terhindar dari pengucilan masyarakatnya. Gadis Lampung zaman dulu akan dinilai berbudi pekerti luhur jika pandai membuat sulaman tapis yang halus dan rapi.

“Sekarang aturan itu tidak ada lagi. Tapi, siapa pun pria yang akan menyunting gadis Lampung sebagai istrinya, sampai sekarang pun harus menyediakan sejumlah kain tapis. Hal ini tentu saja memberatkan karena harga kain tapis makin mahal,” kata Anshori Djausal.

Keunikan dan tingginya nilai seni tapis kuno menyebabkan ”perburuan” kain kuno begitu gencar selama sepuluh tahun terakhir ini. Para kolektor dan makelar tapis kuno biasanya ”berburu” tapis di kampung-kampung yang berpenduduk suku Lampung asli. Mereka berharap bisa membeli tapis kuno dengan harga murah.

Di tingkat kolektor pertama (makelar), harga satu lembar tapis mencapai Rp50 juta hingga Rp 150 juta. Maraknya perburuan tapis kuno menyebabkan makin langkanya orang Lampung asli yang memiliki kain tapis kuno. Selain sudah berpindah tangan ke para kolektor, kain-kain tapis kuno itu sudah menjadi koleksi museum baik museum di Lampung dan Jakarta maupun museum luar negeri seperti di Inggris, Jerman, Australia, Belanda, dan Amerika. (Mas Alina Arifin)

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply